Anggota legislatif atau yang lebih dikenal dengan Anggota Dewan, adalah orang yang sesuai aturan menduduki parlemen karena mendapat suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Sebuah jabatan yang meletakkan seseorang pada tataran elit politik dan sosial.Tak heran bila jabatan tersebut diminati oleh banyak orang. Buktinya, setiap kali pemilu, begitu banyak orang yang mencalonkan diri, sampai yang tak paham dengan tugas dan tanggungjawab sebagai Anggota Legislatif pun rela bersusah payah untuk mengikuti kontes demokrasi tersebut. Alhasil, jangan tanya soal kapasitas dan kapabilitas,mereka dicalonkan partai karena yang bersangkutan banyak modal, banyak keluarga, banyak kolega, pintar berargumen, cerdas soal trik politik, dan yang terpenting pandai membuat janji-janji kampanye.
Tapi kali ini penulis tak menyoal masalah kapasitas dan kapabilitas.Terlalu riskan untuk memberikan penilaian tersebut.Yang coba di ‘buka’ kali ini soal bagaiman hubungan antara ‘sang dewan’ dengan para pemilihnya tempo hari.Hubungan yang punya sejarah sebab dan akibat.Hubungan yang mestinya tak lekang karena waktu…hubungan yang harusnya bermutu dengan saling bertanggungjawab.
Yang terjadi tentu tidaklah demikian, terlalu indah dokrin tersebut.
Ketika pesta demokrasi itu bermula, sibuklah sang rakyat mencari tau, siapa saja yang mencalonkan diri, kemudian sibuk membicarakannya disegenap warung kopi, di teras rumah, disela acara yasinan, pokoknya dimana saja ada kesempatan, ramailah duskusi soal caleg. Penilaiannya relatif sekali. Tentang baik, sedang saja atau tak baik. Tentu dari sudut pandang yang beragam pula.Lantas apakah proses berfikir dan berdiskusi itu yang menentukan pilihan mereka?
Kebanyakan tidak. Keriuhan itu hanya akal-akalan untuk mencari simpati para kontestan. Tujuannya agar dijadikan tim sukses atau paling tidak dijadikan ‘pemilih peliharaan’. Politik uang telah meracuni sebagian besar para pemilih kita. Pragmatis! Ya, entah kapan virus itu berawal, kini telah berjangkit dan mewabah.
“Berikan bukti, jangan Cuma janji”, sindir siUdin disela-sela acara sosialisasi caleg A dari partai A. Karena sudah keseringan mendengar ucapan tersebut, sang caleg sudah mahfum dengan ungkapan tersebut, lalu berbisik kepada timnya disebelah. Biasanya usai acara akan terlihat pembicaraan lanjutan antara tim sukses dengan si Udin.
“Surau kami saat ini sedang direhab, mohon bapak terima proposal kami” kata pengurus Surau. Atau “Pemuda disini kurang sarana olah raga, mohon perhatiannya pak”, ujar tokoh pemuda.Kampanye bagi mereka saat-saat berkah, karena banyak orang yang gemar bersedekah. Mengapa mereka begitu? Jawabnya : Sejarah. Mereka diajarkan oleh sejarah penipuan politisi. Yang ‘senyap’ setelah duduk.
Disisi lain, dapat kita bayangkan, betapa tertekannya sang caleg dengan syarat-syarat pemilih seperti itu. Berapa banyak uang yang harus digelontorkan untuk memuluskan jalan ke gedung dewan. Dan angkanya akan bertambah tatkala rifal caleg lain meluncurkan ‘program’ yang lebih ‘wah’. Tak ada pilihan lain untuk menang. Faight atau tersungkur kalah.
Lalu kualitas hubungan macam apa yang kita dapat dari proses itu. Saya rasa caleg kita belum cukup dewasa untuk bisa memahami kelakuan para pemilih seperti ini. Perasaan terhimpit, sakit dan di’zhalimi’ saat kampanye akan membias pada prilakunya kelak. Tak bisa dipungkiri akhirnya sang dewan sibuk dengan aspirasi mereka sendiri. Sang pemilih sibuk dengan caci maki.
Sebuah realitas. Kita akan ketemu dengan logika, telur atau ayam, mana yang lebih dulu. Siapa yang patut dijadikan tersangka , Politisi atau Konstituen. Hal yang mengharukan bagi demokrasi. Dan saat ini, kita berada didalam lingkaran itu. Wallahualam bissawab.
Tulisan ini dibuat bagi pencerahan kita semua menghadapi agenda politik yang tak lama lagi.
Kayong Utara, 070412
Sumber : http://www.facebook.com/groups/101940266601132/permalink/145752302219928/