Menyikapi issu yang berkembang, perang kepentingan antar lembaga pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten pun mengeliat, kasus Kabupaten Kayong Utara (KKU) sangat menohok dan menyulut opini public, khususnya masyarakat KKU dan Ketapang. Mulai dari Perang Dingin Pemilukada 2012, Pemilukada KKU 2013 dan Pemilu 2014 gencar dilakukan para pemangku kepentingan dan antek-anteknya. Dan tak jarang dari mereka mengabaikan etika, norma hukum dan norma agama demi mencapai puncak kejayaan diri. Bahkan hingga kasus perjalanan Dinas (PD) legislative dan kasus penggelapan dana ngepam Sat Pol PP oleh Komandannya.
Sesungguhnya kasus di atas adalah potret kelam dari kisah panjang bangsa ini, suatu bangsa yang seakan sulit terlepas dari belenggu penjajahan dari bangsanya sendiri. Sebagai penjajah, tentu mereka merasa merdeka untuk melakukan sesuatu apapun atas yang dijajahnya. Sedangkan yang terjajah, selalu berjuang melawan tirani, kezaliman dan kelaliman sang colonial (penjajah) dengan berbagai cara atau strategi demi memperoleh rasa kemerdekaan yang hakiki. Dan tak jarang, perjuangan kaum yang terjajah dianggap sebagai pemberotak yang harus dimusnahkan dalam sejarah perang dan/atau dicap dengan berbagai label negatif.
Setiap fase kepemimpinan selalu saja menawarkan angin surga, angin yang membuat orang terlena dalam buaian mimpi indah. Namun ketika kekuasaan tersebut dalam gengamannya, jangankan angin surga, mendengar cerita surga saja tidak lagi.
Potret demokrasi di Indonesia sungguh sulit dikatakan telah memberikan pendidikan politik yang sangat positif buat bangsanya, namun yang ada hanyalah perwarisan karakter kepemimpinan yang rakus akan kekuasaan, zalim dan lalim terhadap bangsanya sendiri. Sungguh miris, bangsa/masyarakat ini selalu saja dijadikan objek demi memperoleh kekuasaan. Tak jarang pula ketika kekuasaan belum memihak kepadanya, bangsa/masayarakat diadu, diprovokasi sebagai bentuk pembenaran atas kesalahannya.
Ironis. Pemimpin/wakil masyarakat yang seharusnya memberikan rasa aman, rasa nyaman, rasa damai, konsisten memperjuangkan kesejahteraan dan memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat justru malah sebaliknya. Mereka yang seharusnya tanpa mengeluh dalam melayani justru meminta imbalan dari setiap kesempatan dari sebuah pelayanan. Tupoksi dan idealisme mereka seakan hilang ketika berhadapan dengan program/proyek yang pro masyarakat. Dari tangan mereka kebijakan selalu diharapkan, justru ditangan mereka pula segala harapan masyarakat lenyap terlemparkan. Seharusnya suara-suara mereka, kebijakan-kebijakan mereka, keputusan-keputusan mereka itu seperti tombak yang tanjam dan menyentuh disetiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, namun sayang tombak-tombak tersebut telah tumpul dan berkarat. Jika kondisi ini tidak berubah dari tahun ke tahun, priode ke priode, lalu kemana lagi sebuah harapan besar harus kita sandarkan?
by. Ujang Tingang (edisi: 21/7/12)