Tak ayal, pribahasa di atas merupakan potret Nusantara, bumi Pertiwi yang katanya kaya akan potensi dan sumber daya alam (SDA), dari Sabang hingga Merauke. Bumi Gemah Ripah Loh Jinawi. Tongkat kayu dan patu pun dilemparkan menjadi tanaman. Namun ungkapan ini terasa tak pantas disandang bumi Nusantara, ungkapan yang perlu dievaluasi dan dikaji ulang kebenarannya.
Berdasarkan data Bank Dunia, Indoneisa berada pada peringkat ke-6 terbesar diantara negara-negara berkembang dan ke-5 tercepat dalam pertumbuhan di antara negara-negara G20 pada 2010, Indonesia tidak dapat disangsikan lagi merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Namun mengapa Busung Lapar (gizi buruk) bisa menimpa jutaan anak Indonesia?
Dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus gizi buruk di Tanah Air tidak segera ditanggulangi. Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk.
Sementara menurut pengelompokkan prevalensi gizi kurang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47 persen) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi, (Litbang Kemenkes).
Generasi penerus bangsa ini telah banyak yang tewas akibat busung lapar. Korban terbesarnya ialah Indoneisa bagian timur (NTB dan NTT). Misalnya di NTB, jumlah korban meninggal di Provinsi NTB akibat busung lapar meningkat menjadi 21 orang dari 845 kasus. Dua hari sebelumnya, jumlah korban meninggal 19 orang dari 699 kasus busung lapar yang dilaporkan, (Harian Tempo, 2005). Di tahun yang sama, tercatat di NTT balita yang meninggal akibat gizi buru/busung lapar berjumlah 28 orang, (detikNews, 2005). Dan masih banyak lagi balita di berbagai daerah di Indoneisa yang menjadi korban busung lapar, termasuk Pulau Jawa dan Kalimantan.
Busung lapar/gizi buruk tersebut apakan disebabkan lapangan pekerjaan yang sulit, masyarakat yang malas berusaha, penghasilan yang minim atau kemiskinan SDM yang ada? Benar, ini menjadi salah satu faktor penentu juga, namun persentasenya masih relatif kecil. Lalu apa faktor utama penyebab busung lapar/gizi buruk tersebut? Jawababnya adalah KORUPSI. Ratusan triliun sepanjang era reformasih saja dana negara/rakyat habis dibabat pejabat, politisi, pengusaha dan petinggi negeri ini dari dari berbagai kasus yang ada dan tak kunjung selesai. Bayangkan saja kasus century misalnya, yang merugikan negara Rp. 60 triliun lebih, jika dana tersebut diberikan/dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakan Indonesia yang berjumlah lebih kurang 250 juta jiwa atau 75 % dari itu masyarakat ekonomi menegah ke bawah, saya yakin busung lapar tidak akan terjadi di Indonesia, jika ada pun relatif kecil kasusunya. Alih-alih pemerintah mau menaikan harga BBM, ngurus untuk makan sehar-hari saja masyarakat masih sulit, apa lagi jika BBM naik? Sudah pasti sembako ikut naik juga. BBM belum naik saja sembako sudah pada naik dan tidak turun-turun kendati harga kenaikan BBM ditunda. Ironi.
Selain faktor Korupsi yang menjadi penyebab utama busung lapar/gizi buruk di Indonesia, juga disebabkan negara tidak dapat mengurus rakyatnya dengan baik. Akibat dari kesalahan ini, maka rakyat hidupnya selalu jauh dari sejahtera. Hal ini senada dengan pendapat Robert L. Sassone (1994) “Kelaparan mencerminkan ketidaksanggupan pemerintah dalam menghargai harkat dan martabat manusia dan kegagalan pemerintah dalam mengadakan pangan secara merata.” Sejak pelaksanaan otonomi daerah, sistem pemantauan tidak pernah berfungsi. Pemerintah hanya terfokus pada masalah politik terutama menyambut Pemilukada misalnya yang sebentar lagi akan dihela di Propinsi Kalimantan Barat, kemudian masih lestarinya sistem Asal Bapak Senang (ABS).
Ironisnya, Indonesia kaya akan bahan tambang dan SDA lainnya, memiliki SDM yang luar biasa jika diberdayakan secara maksimal. Tapi Kenapa di bumi yang kaya ini masih banyak terdapat balita bergizi buruk dan busung lapar? Apakah SDM-nya lemah dan atau banci? Ternyata tidak. Penyebabnya ialah kekayaan/pontensi yang dimiliki Indonesia ini dikelola oleh SDM yang bermental biadap, mental yang rela menjajah bangsanya sendiri. “Ibarat Ayam Mati di Lumbung Padi,” itulah lebeling yang pantas buat Indonesia, bukan Gemah Ripah Loh Jinawi, tetapi negerinya para pembudidaya/peternak koruptor sukses. “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin,” (Rhoma Irama).
Sumber : http://www.facebook.com/groups/101940266601132/permalink/147069105421581/
Oleh : Ujang Tingang