Pemimpinku,
Hari ini, terasa berat dan penat hatiku terus mengiba. Terasa letih daku menunggu harapan yang tak kunjung tiba. Terasa kelu lidahku ‘tuk berkata bahwa, “Sesungguhnya engkau telah mengingkari janji-janji manismu yang kau ukir takala senja menelan bumi.” Kicauan suara nurani tak membuat nafasmu terhenti sejenak untuk berpikir. Bahkan di atas kursi empukmu tanganmu mencekik perut-perut yang kering dan dahaga.
Pemimpin negeriku,
Betapa perih hatiku saat kutemui anak-anak bangsa mengais nasi digundukan sampah. Betapa sesak nafasku saat melihat anak-anak negri ini buta dari membaca dan menulis, betapa mirisnya jiwaku ketika anak-anak pertiwi hari ini tegelam ke dalam lumpur khayalan semu. Dan sementara di kursimu engkau duduk manis dengan titahmu, dunia seakan selangkah kakimu, kemewahan, dunia bak surga bagimu, abdi-abdimu bertekuk lutut menyembahmu, semua keinginanmu cukup kau katakana “Sim salabin,” maka ia akan berubah menurut kehendakmu.
Tidakkah kau dengar tangisan ibu pertiwi? Menjerit, galau kau gadaikan. Dengan kuasamu kau peras, demi memenuhi saku-saku kepuasanmu. Tiap detik, menit hanya isak tangis yang kau torehkan. Gemamu lantang laksana katak dalam tempurung, pekikmu hanyalah isyarat bahwa kau butuh imbalan dari jalan tanpa Tuhan.
Pemimpin bangsaku,
Tinta ini adalah wakil Tuhan, dari mulut kami yang terkunci karena telingamu tuli. Kata-kata kami tak setajam pedang, namun pedang tahtamu merobek hati kami. Tinta-tinta tanganmu mengotori ketulusan kami, suara-suara kami kau kubur dalam setelah kami antar kau ke istana tahtamu.
Wahai pemimpinku,
Terasa kering rongga mulutku memanggil-manggil namamu, terasa tandus bumi tempatku berpijak, kerna kau hanya berlalu tanpa nurani, dan dengan tangan-tangan jahilmu kau kotori pertiwi tanpa rasa iba. Sadarkah kau? Murka Tuhan hanya sejengkal dari lehermu. Sadarkah kau? Sedalam apapun kebusukanmu yang kau pendam, namun baunya akan muncul kepermukaan.
Pemimpin masa depanku,
Aku berharap esok akan lahir putra-putri sang fajar. Putra-putra yang mampu melepaskan belenggu fatamorgana kekuasaan, yang mampu mengubah tangis bangsa menjadi tawa bahagia, yang mampu dan berani memenggal leher-lehermu yang haus kesenangan tanpa Tuhan, yang mampu mengembalikan marwah bangsa ini dari keterpurukan nafsu, yang mampu menkhodai kapal perubahan dalam badai kezaliman, yang mampu meninggikan dan menegakan panji-panji keadilan di bumi nusantara atas nama Tuhannya.
KORUPSI, RENTAN TERJADI DI PEMILU/PEMILUKADA
Rupanya Pemilu/Pemilukada rentan terjadi tindakan korupsi, kolusi dan nipotisme (KKN). Tak jarang untuk biaya kampanye mereka (pejabat) menggunakan APBN/APBD I atau II. Kemudian Pewarisan tahta kekuasaan kepada keluarga/familinya. Jika pejabat tersebut pengurus partai tertentu, presiden, menteri, gubernur, anggt dewan dll, mrekan akan mewariskan tahta kekuasaannya pada anak, istri atau famili lainnya. tak jarang istri/anak pejabat ikut menjabat di kepengurusan partai, ikut caleg pengurus organisasi trtentu, jadi pejabat tertentu dll. Kita telah kembali ke Orde Baru (Orba), bahkan era Reformasi lebih dahsyat & kejam dibanding era Orba. Hati mereka telah mati…
“Mana mungkin kejayaan bisa terwujud sedangkan kita terlena di tempat tidur. Sedangkan kejayaan itu dibangun dari kerja keras dan kerja cerdas, penuh keikhlasan dan optimisme, bukan berbaring dan bermimpin indah di tempat tidur.”
“Pemimpin dan Masyarakat adalah dua kaki yang saling menopang, sedangkan agama adalah cahaya petunjuk jalan mereka. Andaikan salah satu dari kaki mereka cacat, maka akan timpanglah jalan mereka. Andaikan mereka berjalan tanpa cahaya, niscaya mereka akan tercebur kejurang kehancuran.”
“Hancurnya suatu bangsa dan negara itu bukan kerena bangsa dan negara itu lemah kerena militernya, atau lemah sumber ekonominya, dan/atau lemah kerana sumber daya alam dan manusianya, tetapi hancurnya suatu bangsa dan negara itu kerena mereka menghianati dan meninggalkan Tuhannya.”
by. Ujang Tingang_Duta Anak Negeri.